07:48:47 pm |
![]() |
Keunikan Sutardji Membela Kata Oleh Bohemian Setidaknya muncul dua hal yang dianggap gila bila kita mendengar nama Sutardji Calzoum Bachri disebut. Gila ketika ia membacakan puisi-puisinya, dan gila karena puisi-puisinya dinilai gila. Siapapun orang yang sempat melihat Sutardji meneriakkan puisi-pusinya, ia tidak hanya terpana sambil menggelengkan kepala, namun secara reflek akan berujar: “Gila! Keren…” Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika penyair ini membacakan puisi berjudul Kucing (Meskipun hanya lewat Youtube, hehe..). Mencakar, mengeong, matanya blalaan. Benar-benar lebih kucing daripada kucing, saya membatin. Mabuk, melompat-lompat, meradang, suara melengking, mencakar-cakar, konon memang menjadi khas tersendiri bagi Sutardji ketika membaca puisi. Namun bagaimana dengan puisi-puisi karangannya? Jawaban yang tepat: lebih gila dibanding pembacaannya. Sejarah sastra Indonesia mencatatnya sebagai orang gila (gila sama dengan keren, top, luar biasa,dll). Perjuangannya membebaskan kata dari makna-makna yang membebaninya terbukti dengan kumpulan puisinya O, Amuk, dan Kapak. Pria kelahiran Riau 1941 ini juga berpengalaman mengikuti Poetry Reading di Rotterdam pada musim panas 1974. Ia juga sempat mengikuti seminar International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat pada tahun 1975. “Gila, bukan…” Kita ambil contoh sepatu, sepatu tanpa sedang diinjak oleh kaki pemiliknya akan tetap disebut sepatu. Meski berlumuran lumpur, hangus terbakar, bolong dimakan rayap, selama ia masih berbentuk sepatu akan tetap disebut sepatu. Sepatu adalah sepatu itu sendiri, bukan alas kaki, ia terlahir sebagai benda yang terbebas dari fungsi yang dibebankannya. Seperti sepatu itulah bagaimana Sutardji menyebut kata, merdeka dan mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri nasibnya tanpa dibebani oleh makna-makna. Dalam kredonya, Sutardji menulis, bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Agaknya memang tidak salah saya menuduh Sutardji gila (ingat, gila bisa berarti keren, top, bisa juga sulit dipahami). Kreatifitas muncul dengan sendirinya ketika kata benar-benar terbebas dari makna-makna yang membebaninya. Dengan sendirinya kata-kata itu menari-nari, berloncatan, menelanjangi dirinya sendiri, bahkan bunuh diri dan menghilang dari kertas. Luar biasa. Bagi Sutarji (mungkin bagi saya juga, hehe..), menulis puisi berarti membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi Sutardji adalah mengembalikan kata kepada mantera. Sebelumnya saya mengenal mantera hanya dari film-film vampir, namun setelah saya melihatnya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya mendapatkan dua pengertian mantra yang hampir sama. Pertama, mantra berarti kalimat yang diucapkan dengan diulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib. Kedua, mantra adalah susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib (biasanya diucapkan dukun atau pawang). Sutardji dukun, dong…! Siapa tahu!? Kata-kata dalam puisi-puisinya sangat aneh, dan kalau boleh saya menyebutnya menggemaskan. Seperti mantera. Meminjam bahasa Fakhrunnas M.A. Jabbar, Mantera yang semula hanya dipandang sebagai produk sastra lisan alamiah dan bagian dari ritual pengobatan oleh para dukun/bomo, tiba-tiba disepuh Sutardji menjadi sesuatu yang mempunyai nilai dimensi sastrawi (Jawapos, Minggu, 30 September 2007). Saya sendiri hanya memperoleh dua kesan yang berbeda ketika membaca sajak-sajak Sutardji. Pertama saya merasakan kata-kata itu betul-betul gembira karena terbebas dari makna-makna usang yang membebaninya. Kemudian saya sungguh menikmati berbagai macam estetika yang ditimbulkan oleh mantera-manterannya. Mekipun saya belum bisa mengais maksud-maksud yang terkandung secara utuh, keunikan fonem-fonem yang lahir terasa asik dan menghibur untuk didengar. Benar-benar seni, kataku. Sekedar memperjauh pemahaman perjuangan Sutardji membela kata, menarik sekali kita simak puisi Gus Mus berikut. Jangan meremehkan huruf karena Dari huruf-huruflah kata-kata tercipta Jangan meremehkan kata-kata dari mana Hadir makna-makna Tapi jangan terlalu percaya Huruf dan kata-kata Seringkali sekedar persembunyian belaka Atau terlampau bodoh dan buta Terhadap kehendak makna Puisi boleh jadi berjasad kata Tapi belum tentu makna Yang kau tangkap adalah ruhnya. (Bisri, t.th., Takdim Rubaiyat Angin dan Rumput:9). Kalau anda merasakan kata-kata sering dipaksa memikul beban yang tidak sepatutnya, si gila Sutardji telah mengawali perjuangan untuk membebaskannya. Ikut berjuang, yuk! Dicatat oleh Sajak Masisir, Jam 1:47 PM |
Asosiasi "Mewah" dalam Ke-Batang-an GM Oleh Pangapora Sampai-sampai, saya pun lupa pernah kenal kata puru, saat menemukannya kembali dalam "Mezbah" GM. Ada angin dan api lampu, tulisnya. Wajah itupun hanya putih, seakan puru. Dalam keluarga, ayah-ibu bicara pakai bahasa Indonesia saat saya masih kecil, menggantikan bahasa Madura sebagai bahasa formil setempat. Ketam berarti kepiting parit, lapik berarti alas, sepeda motor berarti Honda (-nah, kan!- haha...), puru berarti semacam borok. Tapi ketika Mezbah mengangkat puru dan saya harus membuka kamus untuk mengetahui artinya, -lalu tentu saya terbahak setelah KBBI menjelaskan-, saya pun malu: usia begini lama kenal GM masih memasung asosiasi metaforik. Miskinnya.... Hahaha... Saya sering setuju Saut Sitompul, kalau puisi itu (--mungkin--: juga) bunyi. Ucap. Bunyi harus ditangkap biar makna bisa didapat. Kalau bunyi dalam morfem bisa berasosiasi dengan maknanya sendiri yang lebih terbatas, tentu bunyi dalam fonem bisa juga berasosiasi dengan makna tertentu meski lebih luas. Artinya, "tas" bisa jadi keluar sebagai artikulasi wadah, namun dapat pula berarti tiruan bunyi letusan, yang bisa terus meluas mencari asosiasi-asosiasi yang lain. …mengentaskan/…entas,/kentas…/’ntas…//mengkentas-kentaskan./mengentas-entaskan.//dientas-entaskannya anunya./’ntas-’ntasan…/berkentas di pentas,/pentas petasan,//k’ntang…eh, k’rtas…/eh tas… eh, bekas…/eh kandas… eh, tandas…/eh, impasse…/eh, ludassssssssssssssss//mengentaskan landasan./kandaskan pengentasan./mengentas-ludaskan parkandas,/pengentasan pentas.//kentas pementasan parkandas./ditindas-’ntaskan/ditindak-k’ntaskan/pantatskan pantatskan pantatskan pantatskan/ pantatskan pantatskan pantatskan pantas….. (dari esei Alex Suparno, puisi Belajar Membaca Berita, Saut Sitompul, tahun 1983) Masalahnya, kalau pakai cara ini untuk mendekati puisi-puisi GM, kita mungkin akan sering kurang puas. Sebab puisi-puisi GM bukan teriakan orang "mabuk" atau orang demo yang menyentak pejalan kaki datang mendekat. Puisi-puisi GM tidak tampil dalam karnaval di alun-alun kota. Puisi-puisi GM hampir semuanya berada dalam suasana temaram, dan di balik kerimbunan atau bilik yang sunyi. Puisi-puisi ini lalu berbunyi. Dengan ketukannya sendiri. Pelan. Kita mengendap untuk menguping: puisi yang berbisik. Kematian pun akan masuk kembali/ kembali, kembali.../ Mari./ Kuinginkan tubuhmu/ dari zaman/ yang tak punya tanda/ kecuali warna sepia. (Pada Album Miguel de Covarobias, GM, 1996) Lalu di otak saya, koloni frasa, metafora, paragraf, tubuh, dalam puisi-puisi GM jelas menjerat pada timbangan mood tertentu, ruang tertentu, waktu tertentu, tempo tertentu, suasana tertentu. Di situ, imajinasi berbunyi dengan caranya sendiri. Bergumam. Kadang seperti mendesah. Dan kita sangat menikmatinya. Tepat mungkin kalau Jokpin bilang --secara lebih spesifik-- diksi dalam puisi-puisi GM terasa begitu mewah. Setidaknya, secara personal saya sangat mendukung penggunaan kata "mewah" dalam deskripsi ini. Mewah = ruang pertunjukan megah di mana kata-kata mementaskan pertunjukan penting yang harus dinikmati. Ya: penting! Sunyi, smara, romantika, melankolia, aroma-aroma, air mata, peluh, darah, mesiu, prajurit bertempur di medan perang saat hari gelap hujan. Mewah mungkin juga ke khas-an yang mahal dan jarang dari metafora-metafora yang hanya dapat dinisbatkan pada kepenyairan GM. "Matahari mengendap", "cahaya berenang", "sungai demam", "api yang tertinggal", "cahaya warna kusta", "gugur daun", "alun sedingin khotbah"... entah kita sudah berada di mana dengan itu semua. Suatu ruang pribadi mewah di mana hanya kita yang dapat menikmatinya, mungkin. Kemewahan ini barangkali juga karena --kata penyair F Rahardi-- faktor GM yang punya kecerdasan, pengetahuan dan pengalaman melebihi rata-rata orang Indonesia. Duh, apa iya? Sedihnya dong kalau iya. (Mungkin kata F Rahardi: "Jujur saja, lah!" Haha...) Sama dengan efek bunyi dalam puisi Saut Sitompul, efek imajis dalam puisi GM menjadikannya sedemikian personal. Nah, penyair Jogja (tepatnya penyair Madura yang tinggal di Jogja) Kuswaidi, justru menilai ada bahaya dalam personalitas ala GM ini. Saat ngobrol di arena CIBF 2007 lalu, dia bilang gaya GM dapat menjerat generasi setelahnya dengan sangat kuat, sehingga tak memungkinkan mereka lari. Bagi saya sendiri, jeratan gaya GM justru seperti sebuah pembenaran. Saya dapat merasakan kedekatan emosional dengan cara pendekatan GM terhadap objek pikirnya. Mungkin karena saya tahu, GM lebih dulu jadi "orang desa". GM lebih dulu anti-stereotip dan berjuang melawan itu. Bahwa asosiasi tidak melulu mutlak harus dituntun oleh perspektif "orang kebanyakan". Bahwa orang kampung tidak mesti kampungan. Bahwa ternyata "GM orang Barat yang lahir di Batang". Saya sangat terinspirasi.
Dicatat oleh Sajak Masisir, Jam 1:44 PM |
|
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
![]() |
|
Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan, kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas lembaran kertas-kertas usang. |
![]() |
![]() |
![]() |
Jumlah Pengunjung Sejak April 2007 Best View : IE, 1024x768 px |
![]() |
© 2007 TintaKita Corporation Design : abditea. All Rights Reserved Powered By : blogger.com & aoshartos.com |