<body bgcolor="#F3F4F7" leftmargin="0" topmargin="0" rightmargin="0" bottommargin="0" onLoad="MM_preloadImages ('http://i1110.photobucket.com/albums/h441/sajakmasisir/jpg/banner_4ganti.gif')"><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d5385199\x26blogName\x3dSajak+Masisir+(Blog+Apresiasi)\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLUE\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://blogapresiasi.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://blogapresiasi.blogspot.com/\x26vt\x3d-7090521908253179098', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>
 
 






 
Salam, Selamat datang di Komunitas Sajak Masisir  

Dikirim 7.11.07    
Menu Utama Pesta Penyair, 27 Oktober 2007 

EMHA AINUN NADJIB DAN PUISI-PUISI PERUBAHAN*
Oleh Muhammad Tabrani Basya

Puisi adalah hasil dari proses kreatif penyair melalui penjelajahan empiris (unsur pengalaman), estetis (unsur keindahan), dan analis (unsur pengamatan). Ketiga unsur yang melengkapi kepenyairan itu merupakan bagian dari tugas penyair. Emha Ainun Nadjib adalah salah satu dari beberapa penyair yang mempunyai kecenderungan relijius. Ia mungkin dikenal tidak murni sebagai penyair, tapi juga sebagai kyai, jurnalis, seniman, budayawan, dan bahkan politikus. Pengalaman tersebut ternyata menjadi faktor terbesar yang mempengaruhi perjalanan puisi-puisinya. Hal inilah yang membedakan antara Emha dengan para penyair semacam Chairil Anwar, Danarto, Rendra, Taufiq Ismail, Hamid Jabbar, Goenawan Mohammad, Sutardji Calzoum Bachri, Abdul Hadi W.M, dan D. Zawawi Imron, yang kebanyakan lebih menjadikan puisi sebagai “satu-satunya jalan sutra” untuk dapat menyampaikan pesan-pesannya. Seakan-akan diversifikasi (penganekaragaman) telah menjadi bagian hidup Emha, seperti juga terlihat pada kolaborasi aliran musik yang selalu mengiringinya saat berdeklamasi (baca: Kiai Kanjeng). Emha lebih sebagai manusia dengan bakat yang beragam, dan oleh karena itulah ia bisa menyampaikan puisi-puisinya dengan banyak cara. Tidak kurang ada 16 buku mengenai puisi telah diterbitkan. Beberapa naskah teater yang telah dipentaskan juga menjadi ajang “penyusupan” puisi-puisinya. Ia juga sering keliling nusantara dan manca negara dengan Kiai Kanjengnya untuk memasyarakatkan puisi.


Empirisme Religius, Imajinasi dan Realitas
Realitas subyektif Emha mengenai pemahaman, pemikiran, dan refleksi tentang Tuhan terasa sangat kuat, baik yang diproyeksikan lewat lingkungan, sosial, maupun kultural. Pun demikian dalam realitas obyektif, seperti norma, nilai, istilah, dan institusi juga sangat kuat mengisi pada tiap larik puisinya. Tuhan memang tidak bisa dibuktikan secara empiris-ilmiah, akan tetapi bisa dibuktikan dengan pemikiran dan mempertajam latihan intuitif hati. Hal ini sangat nampak pada puisi “Aku Mabuk Allah” seperti berikut:

AKU MABUK ALLAH- Aku mabuk Allah. Semata-mata Allah. Segala-galanya Allah. Tak bisa lain lagi. Aku mabuk Allah/lainnya tak berhak dimabuki. Lainnya palsu/lainnya tiada. Nyamuk tak nyamuk/kalau tak mengabarkan Allah. Langit tak langit/kalau tak menandakan Allah. Debu tak debu/badai tak badai/kalau tak membuktikan Allah. Kembang tak mekar/api tak membakar/kalau tak Allah. Mabuklah aku mabuk Allah. Tak bisa lihat tak bisa dengar/cuma Allah cuma Allah. Kalau matahari memancar/siapa sebenarnya yang menyinar. Kalau malam legam/siapa hadir di kegelapan. Kalau punggung ditikam/siapa merasa kesakitan. Mabuklah aku mabuk Allah. Kalau jantung berdegup/siapa yang hidup. Kalau menetes puisi/siapa yang abadi. Allah semata. Allah semata/lainnya dusta.
Berbeda dengan gaya Sutardji Calzoum bachri, Emha terlihat tidak ingin menggunakan imajinasi-imajinasi yang berlebihan. Ia lebih suka menjadikan imajinasi sebagai penyederhanaan sebuah realitas. Aspek ini sangat nampak pada penggalan puisi “Puisi Seadanya Mengenai Kepala” berikut ini:

PUISI SEADANYA MENGENAI KEPALA- “Puisi ini ditulis oleh penyairnya dengan bahasa yang diusahakan sangat seadanya, yang kira-kira bisa dipahami oleh setiap anak yang baru mengenal sejumlah kata-kata, sebab penyair itu merasa begitu ketakutan bahwa kematiannya akan menjadi sempurna jika ternyata tak seorangpun memahami kata-katanya. Jangan salah sangka. Ia takut bukan karena kawatir akan kehilangan kepala, melainkan justru ia sangat mendambakan betapa bahagianya kalau pada suatu hari ia kehilangan kepala. Masalahnya - terus terang saja - kepala itu sudah bertengger di atas lehernya hampir tigapuluh tahun. Baginya ini merupakan beban yang teramat berat dan membuat ia merasa tidak normal. Karena teman-temannya yang normal pada umumnya hanya menyangga satu kepala paling lama lima tahun, bahkan ada yang hanya satu dua tahun, malah ada juga yang sesudah dua tiga bulan sudah berganti kepala.”
Di sinilah kemampuan Emha dalam menggabungkan antara realitas subyektif, obyektif, imajinasi, dan realitas. Dengan permainan semua unsur, diharap akan dapat mengangkat makna-makna yang tergambarkan lewat empat simbol tersebut.

Latar Jawa Dalam Puisi-Puisi Emha
Emha dilahirkan di Jombang, Jawa Timur, 27 Mei 1953. Ia kemudian besar dan hidup di Yogyakarta. Secara geneologis, Emha adalah orang Jawa. Apa yang selama ini dilakukan Emha, ada semacam tujuan untuk mewarisi budaya Islam Jawa. Misalnya saja tradisi shalawatan, sebuah ritual puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW. Dahulu ritual tersebut disebarkan secara lebih meluas oleh Wali Songo di pelosok nusantara, khususnya Jawa. Pesan yang mencoba diusung adalah taqarrub ilallah, dan itu diapresiasikan dalam sebuah bentuk syair lagu berjamaah yang kentara sekali warna tradisi lokalnya. Dibuat berjamaah dengan maksud lebih mempererat persaudaraan, terutama di desa-desa terpencil. Namun tradisi membacakan shalawatan, menembang semalam suntuk saat kelahiran bayi hingga salawat diiring rebana saat sunatan, sudah lama hilang. Begitu juga dengan tradisi menyanyi di kalangan petani, di sawah dan di rumah, telah membisu. Hal itulah yang mungkin mengilhami Emha untuk membuat sebuah grup musik shalawat Kiai Kanjeng, yang di dalamnya ada acara-acara semisal maiyahan dan kenduri cinta. Hal ini menjadikan puisi-puisi Emha mempunyai rasa budaya Jawa. Salah satu unsur yang terbaca adalah penggunaan bahasa Jawa, seperti terlihat pada puisi “Doa Pesakitan” berikut ini:

“GUSTI. Inilah tawananMu/tak berani menengadahkan muka/mripat kami yang terbuka/telah lama menjadi buta
sebab menyia-nyiakan dirinya/dengan hanya menatap hal-hal maya”.

Akan tetapi bagaimanapun, penampilan-penampilan Emha bersama Kiai Kanjeng mempunyai fragmen yang beragam. Kolaborasi berbagai macam aliran musik dapat menjadikan puisi Emha tidak monoton, dan lebih kepada penyesuaian selera masing-masing tempat di mana Ia sedang berada.

Budaya Sendiri dan Budaya Populer
Beberapa tahun terakhir, Indonesia telah mengalami perubahan dari bangsa kultur menjadi bangsa populer. Populerisasi ini telah mendapatkan posisi penting sebagai standar peradaban. Budaya populer yang begitu beragam dipakai dengan begitu saja, tanpa pertanggungjawaban terhadap proses akulturasi dengan kearifan budaya lokal. Pemikiran, sastra, tontonan, hasil karya, dan gaya hidup negeri-negeri asing tiba-tiba menjadi pandangan biasa di negeri sendiri. Budaya orang-orang Amerika, Eropa dan Arab tiba-tiba diikuti secara kolektif menggusur upaya pembangunan budaya nasional. Dan tiba-tiba Emha mengembangkan sebuah arus baru yang diambil dari budaya negeri sendiri. Sikap ini dianggap menjadi hal yang perlu disyukuri, karena puisi yang dibawa Emha diserap dari budaya-budaya dalam negeri sendiri, tidak serta-merta mengambil dari orang lain.

Begitulah, beberapa potret mengenai puisi-puisi Emha Ainun Nadjib. Imajinasi yang cukup, ada nilai-nilai religius, dan tidak anti-realitas, itulah gambaran sederhananya. Kekuatan adat Jawa tidak bisa dilepaskan dari kepribadian Emha. Dan yang terakhir, puisi-puisi Emha telah memberikan ruang terbuka untuk pengembangan budaya negeri sendiri.


Dicatat oleh Sajak Masisir, Jam 1:48 PM |    




Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan, kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas lembaran kertas-kertas usang.



Jumlah Pengunjung
Sejak April 2007

Best View : IE, 1024x768 px


Powered by Yahoo Groups
© 2007 TintaKita Corporation
Design : abditea. All Rights Reserved
Powered By : blogger.com & aoshartos.com