Salam, Selamat datang di Komunitas Sajak Masisir
Anda menggunakan browser Netscape, versi 5.0 AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko; compatible; ClaudeBot/1.0; +claudebot@anthropic.com). Kode namanya Mozilla, dan header yang dikirim Mozilla/5.0 AppleWebKit/537.36 (KHTML, like Gecko; compatible; ClaudeBot/1.0; +claudebot@anthropic.com). Ukuran screen yang digunakan 1280x720 px.
Dikirim
7.11.07
Menu Utama Pesta Penyair, 10 Oktober 2007
Keunikan Sutardji Membela Kata Oleh Bohemian
Setidaknya muncul dua hal yang dianggap gila bila kita mendengar nama Sutardji Calzoum Bachri disebut. Gila ketika ia membacakan puisi-puisinya, dan gila karena puisi-puisinya dinilai gila. Siapapun orang yang sempat melihat Sutardji meneriakkan puisi-pusinya, ia tidak hanya terpana sambil menggelengkan kepala, namun secara reflek akan berujar: “Gila! Keren…”
Saya melihat dengan mata kepala sendiri ketika penyair ini membacakan puisi berjudul Kucing (Meskipun hanya lewat Youtube, hehe..). Mencakar, mengeong, matanya blalaan. Benar-benar lebih kucing daripada kucing, saya membatin. Mabuk, melompat-lompat, meradang, suara melengking, mencakar-cakar, konon memang menjadi khas tersendiri bagi Sutardji ketika membaca puisi. Namun bagaimana dengan puisi-puisi karangannya? Jawaban yang tepat: lebih gila dibanding pembacaannya.
Sejarah sastra Indonesia mencatatnya sebagai orang gila (gila sama dengan keren, top, luar biasa,dll). Perjuangannya membebaskan kata dari makna-makna yang membebaninya terbukti dengan kumpulan puisinya O, Amuk, dan Kapak. Pria kelahiran Riau 1941 ini juga berpengalaman mengikuti Poetry Reading di Rotterdam pada musim panas 1974. Ia juga sempat mengikuti seminar International Writing Program di Lowa City, Amerika Serikat pada tahun 1975. “Gila, bukan…” Kita ambil contoh sepatu, sepatu tanpa sedang diinjak oleh kaki pemiliknya akan tetap disebut sepatu. Meski berlumuran lumpur, hangus terbakar, bolong dimakan rayap, selama ia masih berbentuk sepatu akan tetap disebut sepatu. Sepatu adalah sepatu itu sendiri, bukan alas kaki, ia terlahir sebagai benda yang terbebas dari fungsi yang dibebankannya.
Seperti sepatu itulah bagaimana Sutardji menyebut kata, merdeka dan mempunyai kebebasan untuk menentukan sendiri nasibnya tanpa dibebani oleh makna-makna. Dalam kredonya, Sutardji menulis, bila kata dibebaskan, kreatifitaspun dimungkinkan. Karena kata-kata bisa menciptakan dirinya sendiri, bermain dengan dirinya sendiri, dan menentukan kemauan dirinya sendiri. Agaknya memang tidak salah saya menuduh Sutardji gila (ingat, gila bisa berarti keren, top, bisa juga sulit dipahami).
Kreatifitas muncul dengan sendirinya ketika kata benar-benar terbebas dari makna-makna yang membebaninya. Dengan sendirinya kata-kata itu menari-nari, berloncatan, menelanjangi dirinya sendiri, bahkan bunuh diri dan menghilang dari kertas. Luar biasa.
Bagi Sutarji (mungkin bagi saya juga, hehe..), menulis puisi berarti membebaskan kata-kata, yang berarti mengembalikan kata pada awal mulanya. Pada mulanya adalah Kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi Sutardji adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Sebelumnya saya mengenal mantera hanya dari film-film vampir, namun setelah saya melihatnya di Kamus Besar Bahasa Indonesia, saya mendapatkan dua pengertian mantra yang hampir sama. Pertama, mantra berarti kalimat yang diucapkan dengan diulang atau dilafalkan secara khusus untuk mendatangkan daya gaib. Kedua, mantra adalah susunan kata berunsur puisi yang dianggap mengandung kekuatan gaib (biasanya diucapkan dukun atau pawang). Sutardji dukun, dong…! Siapa tahu!?
Kata-kata dalam puisi-puisinya sangat aneh, dan kalau boleh saya menyebutnya menggemaskan. Seperti mantera. Meminjam bahasa Fakhrunnas M.A. Jabbar, Mantera yang semula hanya dipandang sebagai produk sastra lisan alamiah dan bagian dari ritual pengobatan oleh para dukun/bomo, tiba-tiba disepuh Sutardji menjadi sesuatu yang mempunyai nilai dimensi sastrawi (Jawapos, Minggu, 30 September 2007).
Saya sendiri hanya memperoleh dua kesan yang berbeda ketika membaca sajak-sajak Sutardji. Pertama saya merasakan kata-kata itu betul-betul gembira karena terbebas dari makna-makna usang yang membebaninya. Kemudian saya sungguh menikmati berbagai macam estetika yang ditimbulkan oleh mantera-manterannya. Mekipun saya belum bisa mengais maksud-maksud yang terkandung secara utuh, keunikan fonem-fonem yang lahir terasa asik dan menghibur untuk didengar. Benar-benar seni, kataku.
Sekedar memperjauh pemahaman perjuangan Sutardji membela kata, menarik sekali kita simak puisi Gus Mus berikut.
Jangan meremehkan huruf karena Dari huruf-huruflah kata-kata tercipta Jangan meremehkan kata-kata dari mana Hadir makna-makna Tapi jangan terlalu percaya Huruf dan kata-kata Seringkali sekedar persembunyian belaka Atau terlampau bodoh dan buta Terhadap kehendak makna Puisi boleh jadi berjasad kata Tapi belum tentu makna Yang kau tangkap adalah ruhnya. (Bisri, t.th., Takdim Rubaiyat Angin dan Rumput:9).
Kalau anda merasakan kata-kata sering dipaksa memikul beban yang tidak sepatutnya, si gila Sutardji telah mengawali perjuangan untuk membebaskannya. Ikut berjuang, yuk!
Dicatat oleh Sajak Masisir, Jam 1:47 PM |
Hadir dari sajak-sajak tercecer, kemudian kami kemas sebagai catatan-catatan
duplikat hati yang acap kali meraung menyuarakan irama-irama kebebasan,
kesefahaman, penolakan, penyesalan, kritik, keindahan dan romantisme. mungkin hanya rangkaian
huruf-huruf setengah jadi, namun izinkanlah ianya dinamai sebagai sajak. Hanya untuk menjembatani inspirasi-inpirasi terpasung, sangat sayang jika sekedar tertoreh di atas
lembaran kertas-kertas usang.